Keteladanan Sifat Dermawan
Sifat Dermawan Baginda Nabi Muhammad SAW
Sebagai umat Nabi Muhammad SAW sudah sepatutnya bagi kita untuk bisa meneladani segala perilaku yang beliau tampilkan. mengingat, dalam banyak literatur klasik disebutkan bahwa ukuran ketaqwaan seorang hamba adalah sejauh mana ia dapat mengimplementasikan sunnah-sunnah yang sudah digariskan oleh sang figur panutan.
Diantara perangai beliau yang mulia adalah sifat dermawan.
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَنَمًا بَيْنَ جَبَلَيْنِ، فَأَعْطَاهُ إِيَّاهُ، فَأَتَى قَوْمَهُ فَقَالَ أَيْ قَوْمِ أَسْلِمُوا، فَوَاللهِ إِنَّ مُحَمَّدًا لَيُعْطِي عَطَاءً مَا يَخَافُ الْفَقْرَ
Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa seorang lelaki(Shofwan bin Umayyah sebelum masuk islam) datang kepada Rasulullah SAW dan meminta semua kambing yang memenuhi diantara dua bukit, Nabi pun memberikanya tanpa tersisa barang satu ekor pun. Dengan senang hati ia kembali pada kaumnya seraya bersorak “Wahai kaumku, masuk islamlah kalian semua, karena Muhammad sedang berderma seolah ia orang yang tak takut pada kefakiran. (HR Muslim)
Imam Al-Bajuri dalam Syarah Burdah menuqil sebuah syair berbunyi:
مَاقَالَ لَا قَطُّ إِلَّا فِي تَشَهُّدِهِ • لَوْلَا التَّشَهُّدُ كَانَتْ لَاؤُهُ نَعَمِ
Tak pernah sekalipun Rasulullah SAW berkata “tidak” kecuali dalam persaksian. Seandainya tak ada persaksian, maka “tidak” itu sudah pasti bermakna “iya”.(Hasyiyatul Bajuri ‘Ala Matni al-Burdah hal 22)
Perbedaan Makna Dermawan
Dalam bahasa arab, orang yang dermawan biasa dikenal dengan Al-Karim, As-Sakhy dan Al-Jawad, namun diantara ketiganya terdapat perbedaan.
Al-Jurjani dalam Ta’rifat nya berkata:
الكريم من يوصل النفع بلا عوض، السخي من أعطى البعض، والجواد من أعطى الأكثر
Al-Karim adalah orang yang memberikan manfaat tanpa mengharapkan imbalan.
As-Sakhy adalah orang yang memberikan sebagian dari yang ia punya.
Dan Al-Jawad adalah orang yang pemberianya lebih banyak dari apa yang ia simpan. (At-Ta’rifat 183)
Keistimewaan Sifat Dermawan
Sifat dermawan adalah sifat yang siapapun pelakunya pasti akan mendapatkan tempat dihati orang banyak, meski tak seiman.
Hal ini dibuktikan dengan hadist yang dicuplik Al-Ghazali dalam At-Tibrul Masbuk Fii Nashihatil Muluk:
وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم تأسفت على موت أربعة من الكفار على أنوشروان لعدله وحاتم الطائي لسخائه وامرىء القيس لشعره وأبي طالب لبره
Aku sangat berduka atas wafatnya 4 orang kafir yakni Raja Anusyirwan karena keadilanya, Hatim At-Thai karena kedermawananya, Imri’ al-Qois karena syair-syairnya dan Abu Thalib karena kebaikanya.
Dan kedermawanan Hatim At-Thai pun dilanjutkan oleh sang putra bernama Ady At-Thai, sehingga ia sangat dicintai dan disanjung oleh kaumnya disetiap tempat.
بِأَبِهِ اقْتَدَى عَدِيٌّ فِي الْكَرَمْ • وَمَنْ يُشَابِهْ أَبَهُ فَمَا ظَلَمْ
Kedermawanan Para Salafus Sholih
Para ulama’ adalah pewaris para nabi. Dan para nabi tidak meninggalkan apapun selain ilmu dan akhlak.
Sifat dermawan sudah barang tentu melekat pada diri mereka bak jubah yang mereka pakai kemanapun melangkah.
Dalam Al-Lujain ad-Dani Fii Manaqibi as-Syaikh Abdil Qodir Al-Jilani, Syaikh Ja’far bin Hasan Al-Barzanji bercerita:
وَلَا يَرُدُّ سَائِلًا وَلَوْ بِأَحَدِ ثَوْبَيْهِ
Beliau, Syaikh Abdul Qodir Al-Jili tak pernah menolak orang yang meminta walaupun yang diminta adalah salah satu dari dua pakaian yang beliau kenakan(tidak beliau berikan semua karena sebagai penutup aurat).
KH Dalhar bin Abdurrahman Watucongol dalam kitabnya Tanwirul Ma’ali Fii Manaqibi Syaikh Abil Hasan As-Syadzili juga menuturkan:
وَهُوَ لَمَّا بَلَغَ عُمْرُهُ سِتَّ سَنَةٍ رَحَلَ إلىٰ بَلَدِ تُوْنِسْ وَوَافَقَ هُنَالِكَ وَقْتَ الْغَلَاءِ حَتَّى كَثِيْرًا مَا فِي أَيِّ طَرِيْقٍ مَنْ يَضْطَرُّ وَ يُخَمَّصُ بِشَدِيْدِ الْجُوْعِفَبِحُسْنِ خُلُقِهِ وَشَفَقَتِهِ وَسَخَائِهِ قَالَ لَوْ كَانَ لِي مَالٌ لَأَشْتَرِيَ بِهِ خُبْزًا لِهَؤُلَاءِ الْمُضْطَرِّيْنَ فَاخْتَبَرَهُ اللهُ بِامْتِلَاءِ صُرّتِهِ بِمَالٍ مِنْ عَالَمِ الْغَيْبِ، فَيُؤمَرُبِاشْتِرَاءِ الْخُبْزِ بِهِ فَاشْتَرَى سَرِيْعًا بِهِ فَقَسَمَهُ لِهَؤُلَاءِ الْمُضْطَرِّيْنَ حَتّى شَبِعُوْا أَهْلُ الْبَلَدِ الْمُضْطَرُّوْنَ
Saat Syaikh Abu Hasan As Syadzili berusia 6 tahun, beliau pergi menuju Tunisia dalam keadaan sedang paceklik, dalam perjalanan beliau bertemu dengan orang orang yang mengenaskan akibat kelaparan. Dengan rasa kasih sayang dan kedermawanannya beliau berkata, seandainya aku memiliki uang, niscaya kugunakan untuk membelikan mereka roti. Dengan izin Allah Swt tiba tiba kantung beliau penuh terisi uang. Dan dengan segera beliau membeli roti lalu membagikanya kepada para pengidap kelaparan hingga lapar mereka terkenyangkan.
Semoga kita diberikan Allah Swt taufiq hidayah untuk meneladani sifat terpuji ini dan sedikit banyaknya tulisan ini dapat memberikan manfaat.
Komentar
Posting Komentar