Dilema Menikah Dibulan Muharram

 



Pernikahan dalam Islam merupakan ibadah yang agung. Ia bukan sekadar ikatan sosial antara dua individu, tetapi juga merupakan perjanjian suci yang dijalin atas dasar keimanan dan ketakwaan.


Dalam khazanah budaya Nusantara, khususnya di wilayah Jawa, pemilihan waktu pernikahan merupakan bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari rangkaian adat dan tradisi. Masyarakat Jawa memegang keyakinan bahwa waktu pelaksanaan pernikahan memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan rumah tangga di masa depan.


Oleh karena itu, menentukan hari baik untuk menikah bukanlah hal yang dilakukan secara sembarangan. Proses ini biasanya melibatkan perhitungan hari lahir (weton), neptu, dan pertimbangan energi atau makna spiritual dari hari-hari tertentu. Tujuannya adalah untuk mencari waktu yang diyakini membawa berkah, kelancaran rezeki, keharmonisan, dan terhindar dari malapetaka.


Dalam praktiknya, masyarakat bahkan memiliki larangan untuk menikah pada waktu-waktu tertentu, yang dianggap sebagai waktu yang kurang baik atau penuh musibah. Salah satu larangan yang populer dan masih banyak diyakini hingga hari ini adalah pantangan melangsungkan pernikahan di bulan Suro, yang bertepatan dengan bulan Muharram dalam kalender Hijriah.


Bulan Suro dipandang sebagai bulan yang sakral, penuh misteri, dan dianggap sebagai waktu yang tidak layak untuk menyelenggarakan acara yang bersifat meriah atau penuh kegembiraan, seperti pernikahan. Masyarakat Jawa meyakini bahwa bulan Suro adalah bulan untuk melakukan ritual spiritual, laku prihatin, dan pensucian diri, bukan untuk menggelar pesta atau hajatan. Akibatnya, pernikahan yang dilakukan pada bulan ini diyakini akan mendatangkan malapetaka atau kesialan bagi pasangan pengantin, seperti rumah tangga yang tidak harmonis, kesulitan rezeki, bahkan perceraian di usia muda.


Lantas bagaimana Syariat menanggapinya?


Jika ditinjau dari berbagai dalil Nash (Al Qur’an dan Sunnah) juga literatur salaf maupun kontemporer maka dapat disimpulkan bahwa tidak mengapa menikah atau melamar di bulan Allah yang mulia, yaitu Muharramyang merupakan awal tahun Hijriyah. Hal ini bukan termasuk perbuatan makruh (dibenci) maupun haram, dan hal ini didukung oleh banyak dalil. Di antaranya:


Pertama:

Asal hukum segala sesuatu dalam muamalah (pergaulan) adalah boleh (mubah), selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Ini adalah kaidah syar’i yang disepakati oleh para ulama: bahwa hukum asal dalam kebiasaan dan perbuatan adalah mubah, kecuali ada dalil yang melarangnya. Karena tidak ada satu pun dalil dari Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, atau atsar yang melarang menikah di bulan Muharram, maka hukum asalnya tetap pada kebolehan.


Kedua:

Ijma’ (kesepakatan) ulama atas kebolehannya, meskipun secara diam-diam (ijma’ sukuti). Tidak ada satu pun dari kalangan ulama terdahulu maupun belakangan — baik dari kalangan sahabat, tabi’in, imam-imam mazhab, maupun pengikut mereka hingga hari ini — yang mengharamkan, bahkan memakruhkan, pernikahan atau lamaran di bulan Muharram.

Barang siapa yang melarangnya, cukup menjadi bukti akan lemahnya pendapatnya karena dia telah berfatwa tanpa dasar dalil, dan tidak ada satu pun ulama yang mendahuluinya dalam hal ini.


Ketiga:

Bulan Muharram adalah salah satu dari bulan Allah yang dimuliakan. Telah datang dalam hadits keutamaan bulan ini sabda Nabi ﷺ:


“Puasa yang paling utama setelah Ramadan adalah puasa di bulan Allah, Muharram.” (HR. Muslim, no. 1163).


Bulan ini adalah bulan yang Allah nisbatkan kepada-Nya, dan puasa di dalamnya memiliki keutamaan besar. Maka sudah sepantasnya bulan ini dicari keberkahan dan keutamaannya, bukan justru bersedih atau merasa takut untuk menikah di dalamnya, sebagaimana kebiasaan kaum jahiliah.


Keempat:

Jika ada yang beralasan melarang karena di bulan Muharram terjadi peristiwa syahidnya Al-Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu — sebagaimana yang diyakini sebagian kaum Rafidhah (Syiah) — maka jawabannya:


Tidak diragukan bahwa hari syahidnya Al-Husain radhiyallahu ‘anhu adalah duka yang besar dalam sejarah Islam. Akan tetapi, hal itu tidak menjadi dasar hukum untuk mengharamkan pernikahan atau lamaran di bulan tersebut.

Dalam syariat kita tidak ada ajaran untuk memperbarui kesedihan setiap tahun, atau berkabung terus-menerus hingga melarang segala bentuk kegembiraan.


Jika alasan ini dibenarkan, maka layak juga kita bertanya: bukankah wafatnya Rasulullah ﷺ adalah musibah terbesar bagi umat Islam? Lalu mengapa pernikahan tidak juga diharamkan di bulan Rabi’ul Awwal, bulan wafatnya beliau? Mengapa pula tidak ada satu pun sahabat, Ahlul Bait, atau ulama setelah mereka yang mengharamkan atau memakruhkan menikah di bulan tersebut?


Jika setiap hari yang terdapat kematian atau kesyahidan tokoh besar Islam dijadikan hari berkabung dan larangan bergembira, maka tidak akan ada lagi hari yang tersisa untuk bergembira. Hal ini jelas akan menyulitkan dan membebani umat di luar batas kemampuan mereka.


Tidak diragukan bahwa mengada-adakan ajaran baru dalam agama (bid’ah) akan kembali merugikan pelakunya sendiri. Mereka menyelisihi syariat dan menganggap ada kekurangan dalam kesempurnaan agama yang telah Allah ridai bagi hamba-Nya.


Beberapa sejarawan menyebutkan bahwa orang yang pertama kali mencetuskan peringatan duka di awal Muharram adalah Shah Ismail Ash-Shafawi (w. 930 H).

Sebagaimana disebutkan oleh Dr. Ali Al-Wardi dalam bukunya “Lamhat Ijtima’iyyah min Tarikhil ‘Iraq”(1/59):


“Shah Ismail tidak hanya menggunakan kekerasan untuk menyebarkan Syi’ah, tapi juga menggunakan propaganda psikologis, yaitu dengan mengatur peringatan hari kematian Al-Husain sebagaimana yang dilakukan saat ini. Perayaan ini sebenarnya sudah dimulai oleh Dinasti Buwaih di Baghdad pada abad ke-4 Hijriyah, namun kemudian terlupakan. Shah Ismail kemudian menghidupkannya kembali dan menambahkan majelis-majelis takziah, sehingga perayaan tersebut menjadi sangat kuat pengaruhnya di hati masyarakat. Bisa dikatakan, peringatan ini menjadi faktor penting dalam penyebaran Syi’ah di Iran, karena isinya penuh dengan tangisan, bendera, genderang, dan sejenisnya, yang dapat menyentuh perasaan dan membentuk keyakinan dalam hati.”


Kelima:

Beberapa sejarawan juga menyebutkan bahwa pernikahan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dengan Fatimah radhiyallahu ‘anha terjadi di awal tahun ketiga hijriyah.


Ibnu Katsir rahimahullah berkata:


“Al-Baihaqi meriwayatkan dari kitab Al-Ma’rifah karya Abu Abdillah bin Mandah, bahwa Ali menikahi Fatimah satu tahun setelah hijrah, dan mulai tinggal bersama satu tahun setelah itu. Maka, pernikahan sebenarnya terjadi di awal tahun ketiga hijriyah.”

(Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah 3/419).


Meskipun ada perbedaan pendapat tentang tanggal pastinya, namun hal ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun ulama yang mengingkari pernikahan di bulan Muharram. Bahkan, orang yang menikah di bulan itu memiliki teladan yang baik dari Amirul Mukminin Ali dan istrinya, putri Nabi ﷺ, Fathimah radhiyallahu ‘anhuma.


Wallahu a’lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keteladanan Sifat Dermawan

Bulan Muharram Dan Keutamaanya